RSS

Sujiah, Relawan Pendidikan di Suku Baduy

Perasaan takut, was-was, cemas dan ingin berhenti dari profesinya sebagai relawan pendidikan, pernah dirasakan oleh Sujiah, wanita kelahiran Yogyakarta, ketika pada tahun 1978, saat mendapatkan tugas dari pemerintah untuk mengajar di Kanekes, sebuah perkampungan suku Baduy, di Kabupaten Lebak, Provinsi Banten.

KARNOTO-Lebak-Provinsi Banten

Dulu waktu pertama kali saya tiba di Kanekes, suasananya masih sepi dan hanya beberapa pasang mata yang berpapasan dengan saya ketika hendak mengajar ke sekolah di SDN I Ciboleger,” tutur wanita yang bersahaja ini dengan pikiran membayangkan 30 tahun lalu.

Kini, di usianya yang ke-53 tahun, Sujiah melihat sudah banyak perkembangan nyata baik keramaian maupun pola pikir masyarakat. Berbeda dengan ketika Sujiah mengajar puluhan tahun lalu. Wanita beranak satu ini menceritakan pengalamannya ketika awal-awal ditempatkan di daerah Banten selatan ini.

Ketika diterjunkan oleh pemerintah 30 tahun lalu, Sujiah masih gadis dan berusia sekira 24 tahun. Selama dua hari mengajar di perkampungan suku Baduy, Sujiah dibayangi rasa takut dan kejenuhan. Maklum, jarak antara rumah dengan sekolah saat itu hampir 8 kilometer dan hanya dapat ditempuh dengan perjalanan kaki, karena saat itu tidak ada kendaraan ataupun ojek.

Dan yang membuat perasaan wanita berkerudung ini ngeri adalah berpapasan dengan orang Baduy yang selalu membawa golok disebelah sisi kanan badan. Selain itu, penampilan suku Baduy ini pun dianggap aneh bagi Sujiah yang terbiasa dengan pakaian umum.

Setiap mau mengajar saya berpapasan dengan orang Baduy yang membawa golok. Pokoknya ketika itu saya takut, khawatir dan ingin berhenti menjadi guru dan kembali ke Yogyakarta,” akunya.

Namun, berkat kesabaran dan semangat ingin mengabdikan diri kepada bangsa dan negara. Sujiah akhirnya bertekad untuk tetap bertahan di daerah pedalaman ini. Hingga selama berpuluh-puluh tahun, akhirnya Sujiah terbiasa dan menikmati profesinya sebagai relawan pendidikan di perkampungan Baduy.

Bahkan, ia sudah tidak takut lagi berpapasan dengan suku Baduy. Justru, Sujiah merasakan persaudaran dengan orang-orang Baduy yang masih kental memegang adat istiadat.

Kini, di tahun 2008, Sujiah sudah bisa melihat jerih payahnya menjadi relawan pendidikan. “Alhamdulillah, sekarang mah sudah ada anak orang baduy yang sudah lulus sekolah dan bekerja ke Jakarta,” katanya dengan raut muka yang berbinar.

Ketika ditanya pengalaman unik ketika mengajar anak keturunan suku Baduy, Sujiah mengaku ada perbedaan. Kata wanita sederhana ini, pola belajar anak Baduy cenderung ingin kebebasan tidak seperti anak-anak pada umumnya. “Kalau anak Baduy belajarnya sesukanya. Jadi, kalau ingin pulang dia pulang tanpa izin dan takut dengan guru, meskipun jam pelajarannya belum selesai,” katanya seraya mengutarakan rasa harunya ketika diminta untuk menceritakan kenangan masa lalu itu.

Di tahun 2008, Sujiah bisa sedikit tersenyum karena mendapatkan bantuan opersional sekolah (BOS). “BOS ini sangat membantu sekali terutama untuk membayar para relawan lainnya,” katanya.

Kini, siswa SDN I Cibologer yang berada di perbatasan dengan suku Baduy luar, ini memiliki siswa 300 anak lebih. Kondisi ini berbeda ketika pada tahun 70 atau 80 an lalu, dimana siswa yang sekolah hanya 20-30 anak. “Itupun harus belajar di tengah kondisi sekolah yang memprihatinkan, karena bangunan masih semi permanen dan diapit perbukitan. Maklum, saat itu desa ini belum banyak rumah orang luar Baduy seperti saat ini, yang ada hanyalah suku Baduy dengan rumah khasnya,” ujarnya.

Ada satu lagi yang masih terkenang di pikiran Sujiah, yaitu ketika ia merayu orang Baduy untuk bersekolah. “Waktu itu saya suka nangga (bertetangga) ke rumah orang Baduy luar, untuk mengajak sekolah. Tapi, ditanggapi dingin oleh orangtua mereka karena menurut adat Baduy sekolah itu pamali sehingga tidak diperbolehkan,” tuturnya.

Sampai saat ini pun, anak-anak Baduy belum boleh sekolah karena aturan adat. “Yah, namanya adat kita agak sulit kecuali orang Baduy sendiri yang meminta. Makanya sekarang juga tidak ada orang Baduy yang sekolah,” katanya.
Namun, meski tidak sekolah formal tapi banyak anak-anak Baduy yang main ke sekolah ketika jam pelajaran. “Mereka cuma ngintip anak-anak yang sekolah dari balik jendela,” katanya.

Selamat Berjuang wanita perkasa, semoga akan lahir Sujiah-Sujiah di nusantara, amin.****


  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Siti Solikhah, Bidan Desa di Serang

Peran bidan desa dalam meningkatkan kesadaran warga akan kesehatan sangat menentukan. Namun demikian, ternyata tidaklah mudah memberikan pemahaman kepada warga di desa. Siti Solikhah, misalnya. Bidan Desa Kepandean, Kecamatan Ciruas, ini menceritakan pengalamannya selama bertugas di desa kepada Radar Banten.

KARNOTO-Wartawan Radar Banten

“Dulu mah, warga itu selalu menghindar dan cuek ketika melewati kami yang sedang bertugas di Pos Kesehatan Desa (Poskesdes),” kata Siti Solikhah mengawali pembicaraan dengan Radar Banten di Poskesdes, Jumat (29/8).

Menurut wanita berkacamata ini, sinisme warga ketika itu sempat membuat dirinya ragu akan berhasil melaksanakan tugas di desa yang penduduknya mayoritas bermata pencaharian sebagai buruh tani. “Tugas di desa apalagi menyangkut kesehatan harus sabar dan banyak ngomong serta pandai merayu. Tanpa itu, rasanya sulit untuk menyadarkan warga soal kesehatan,” kata Siti yang saat itu didampingi dua kader Poskesdes.

Kini, berkat kesabaran dan kepandaian merayu yang dimiliki Siti, desa yang memiliki 5 kampung, yaitu Kejaban, Kemanisan, Pacet, Pakebangan, dan Perima, menjadi Desa Siaga. “Keberhasilan ini bukan semata-mata oleh kami tapi juga peran aparat desa, tokoh agama, dan tokoh masyarakat yang turut terlibat membantu kami,” ujarnya.

Desa yang memiliki 1.071 kepala keluarga (KK) ini hanya memiliki 10 kader Posyandu, 1 bidan desa, dan 8 dukun bayi. “Dalam praktiknya kami tetap bekerjasama dengan dukun bayi dengan pembagian tugas masing-masing,” ujarnya.

Kendati dibilang hasilnya sudah cukup lumayan, masih ada yang mengganjal dalam benak wanita berkerudung ini, yaitu ketidakmauan warga soal donor darah. “Khusus program ini warga masih takut dan enggan mendonorkan darahnya,” katanya.

Ketakutan warga, kata Siti, akibat adanya persepsi bahwa seseorang yang mendonorkan darah akan berdampak terhadap kesehatan. “Beberapa waktu lalu ada warga yang membutuhkan darah tapi tidak ada satupun yang mau mendonorkan darahnya,” ujarnya

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Helvy, Naluri Ibu Jadi Penulis

Semangat untuk menjalani hidup dan menulis akan selalu bergemuruh jika berada di dekat Hely, seorang wanita yang pernah mendapat penghargaan sebagai wanita berprestasi di salah satu majalah nasional.

Oleh Karnoto

Minggu (25/5) saya menemani Hely sebagai moderator pada acara seminar pendidikan yang diselenggarakan SDIT Ibadurahman, Ciruas, di gedung Balai Besar Latihan Kerja Indonesia (BBLI) Serang, Banten. Selama kurang lebih 3 jam saya mengikuti apa yang disampaikan oleh mantan Ketua Forum Lingkar Pena ini, banyak kisah yang diceritakan oleh wanita yang memiliki nama lengkap Helvi Tiana Rosa ini.

Mulai dari kisah anaknya Faiz, yang katanya cukup mengagumkan sampai Habiburahman El-Sirazy,penulis novel ayat-ayat cinta. Menurut ibu dari dua anak ini, menulis merupakan kegiatan yang mengasyikan sekaligus mendatangkan materi. “Anda tahu penulis ayat-ayat cinta, dia mendapatkan keuntungan materi sampai 1 miliar, ini sungguh luar biasa,” kata Helvy kepada sejumlah guru yang saat itu menjadi peserta.

Menurut wanita yang mengaku sudah menghasilkan puluhan Cerpen ini, inspirasi menulis bisa berasal darimana saja, mulai dari tukang sayur, mahasiswa, ataupun temannya sendiri. “Saya sendiri yang baru menulis puluhan Cerpen Alhmadulillah sudah mendapatkan honor kira-kira seratusan juta rupiah dalam tiga bulannya,” aku wanita yang mengaku tidak suka dengan gaya penulisan yang tidak kreatif dan mengikuti tren ini.

Wanita yang pernah masuk dalam daftar calon anggota legislatif tahun 2004 lalu ini, mengatakan, pertama kali dirinya menulis sejak masih duduk di bangku SMP. “Saat itu hasil tulisan saya dimuat disalah satu majalah dan disitulah bakat menulis mulai terlihat,”ujar Helvy yang saat itu mengenakan busana serba pink.

Saat menceritakan anaknya, Faiz, yang sudah menulis meskipun usianya baru 12 tahun, ratusan guru tampak semangat seolah mendapat secercah harapan bahwa mereka pun sebetulnya bisa melakukan seperti yang dilakukan Helvy. “Sejak masih di kandungan Faiz selalu saya ajak bicara dan diskusi, baik dalam pengambilan keputusan maupun di saat akan menulis,” tutur wanita yang mengaku pernah mendapat hukuman lari mengelilingi lapangan saat masih sekolah dulu.

Menurut dia, bayi meskipun masih dalam kandungan sesungguhnya sudah dapat mendengar apa yang kita katakana. “Meskipun si bayi tidak bisa menjawab tapi ajaklah dia berbicara, Insya Allah bayi akan mendengar,” kata Helvy seraya mengatakan bahwa prestasi anaknya saat ini tidak lepas dari peran kedua orangtuanya sejak masih dikandungan. ****

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Cut Putri, Wanita Aceh Perekam Gambar Tsunami

Masih ingatkah bencana tsunami di Naggro Aceh Darussalam beberapa tahun silam. Dimana ribuan nyawa lenyap dalam hitungan jam, ribuan orang kehilangan keluarga. Cut Putri, salah seorang pelaku peristiwa Aceh tersebut berhasil merekam gambar tsunami. Berikut berbincangan saya dengan wanita cantik ini.

Oleh Karnoto

Awalnya saya tidak menyangka kalau Cut Putri adalah seorang wanita Aceh pelaku peristiwa Tsunami. Dari paras dan aura wajahnya tak terlihat guratan kesedihan atau keputusasaan sebagaimana layaknya orang yang mengalami guncangan hebat dalam musibah tsunami Disela-sela acara peluncuran gerakan wakaf Alqur’an di arena MTQ Nasional ke 22 di Kota Serang pada Selasa (17/6) kemarin. Cut Putri menceritakan sekelumit kenapa sampai menenggelamkan diri dalam aktivitas di Yayasan Mahabbah AlQur’an yang ia pimpin. “Perisitwa bencana tsunami telah menjadi inspirasi saya untuk berbuat sekecil apapun, salah satunya adalah dengan melakukan gerakan wakaf Alqur’an yang saat ini sedang saya lakukan,” tutur wanita yang enggan ditanya seputar pribadinya.

Warna gaun merah hitam yang ia kenakan saat itu, seperti menjadi sinyal bahwa Cut Putri adalah seorang wanita yang memiliki ketegaran hati yang layak untuk jadi inspirasi kita. “Selang beberapa hari bencana terjadi, dimana pengungsian sudah merebak saat itulah saya tersentak disetiap pengungsian tidak ada satu Qur’an pun yang dimiliki para pengungsi, sejak saat itulah saya menguatkan diri untuk melakukan gerakan wakaf alqur’an,” tutur Putri sambil memberi semangat kepada saya dan sejumlah wartawan yang mewancari saat itu.

Terpaan alam yang menimpa Cut Putri menjadikan dirinya dapat menyesuaikan diri dengan cepat. Salah satunya ia tidak terlalu kaku harus duduk di kursi ataupun sofa, saat berbincang dengan saya dan teman-teman pun ia duduk lesehatan di atas karpet biru yang banyak debunya. “Saya pernah tinggal di hutan beberapa lama, dan ini menjadikan saya mampu menyesuaikan diri dalam setiap keadaan. Alam telah menjadikan saya menjadi tangguh dan fleksibel,” kata Cut Putri yang berjanji akan menceritakan pengalamannya saat detik-detik pengambilan gambar tsunami.

Tak hanya itu, Cut Putri sendiri adalah anak seorang jenderal polisi yang pernah menjabat sebagai Kadiv Humas Mabes POLRI. Namun, ketika ditanyakan usia ataupun masalah keluarganya Cut Putri selalu mengalihkannya. “Seperti yang saya katakana dari awal, kalau untuk masalah pribadi mohon maaf saya tidak bisa menjelaskan lebih banyak. Cut Putri bukan siapa-siapa melainkan manusia biasa yang ingin berbuat sesuatu meskipun itu kecil,” tutur wanita berparas cantik ini sambil menawarkan minum kepada kami.
Menurut Cut Putri, saat ini masih banyak ummat muslim yang membutuhkan Alqur’an. Bahkan, kata dia, di Provinsi Banten sendiri dirinya mendapat permintaan ribuan alqur’an dari masyarakat. “Ini tugas kita bersama untuk menggalakan wakaf alqur’an,” ujarnya.

Namun yang harus diingat, menurut wanita berperawakan tinggi ini, saya ingin menyebarkan alqur’an tapi ingin memasyarakatkan alqur’an supaya betul-betul menjadi pegangan hidup umat muslim. “Itulah yang terpenting dari gerakan wakaf alqur’an ini,” tuturnya. ***

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS